Industri asuransi sedang mendominasi
pasar saat ini dengan prinsip jual-beli resiko. Dalam asuransi nasabah akan
menyetor premi sebagai ganti resiko. Kemudian nasabah akan mendapatkan uang
pertanggungan, alias manfaat yang diajukan saat terjadi klaim. Jumlah premi
yang dibayarkan oleh nasabah sesuai dengan perjannjian, yang tertera dalam
polis asuransi. Namun benarkah asuransi konvensional bisa diandalkan selamanya?
Simak disini #AwaliDenganKebaikan.
Asuransi Konvensional Tidak Penuhi Janjinya
Perusahaan asuransi pernah merasakan
masa kejayaannya dan berhasil menjadi penggerak perekonomian. Pasalnya produk
asuransi menawarkan proteksi untuk kesehatan dan jiwa, yang memudahkan nasabah
di kemudian hari. Kontrak asuransi konvensional terjadi antara nasabah dengan
agen asuransi, yang dirupakan dalam bentuk polis. Perusahaan asuransi akan
mengelola dan menentukan dana perlindungan nasabah.
Sistemnya nasabah membayar premi
sesuai dengan produk asuransi yang dipilih, mulai dari bulanan hingga tahunan.
Nasabah bisa mengajukan klaim ketika terjadi resiko dan mengandalkan pencairan
dana dari perusahaan. Terkadang bisa terjadi surplus underwriting dimana keuntungan asuransi menjadi milik
perusahaan, tetapi hal ini jarang terjadi. Rata-rata nasabah selalu mengajukan
klaim untuk mendapatkan keuntungan dari premi.
Namun pada kenyataannya perusahaan
asuransi tidak bisa bertahan lama, sudah 3 tahun ini banyak perusahaan kolaps.
Kondisi tersebut memicu amarah dari para nasabah yang tidak bisa mencairkan
dana klaim. Kasus ini dirasakan oleh Andi selaku pemegang polis asuransi
kesehatan, dari salah satu perusahaan asuransi terbesar. Andi menceritakan
bahwa Ia tidak bisa mengajukan klaim ketika harus dirawat di rumah sakit selama
2 minggu.
Pada hakikatnya asuransi kesehatan
menyediakan ‘payung’ ketika nasabah terjadi resiko kesehatan. Sebagai alat
antisipasi untuk biaya pengobatan dan biaya rawat inap, yang mungkin terlalu
mahal untuk beberapa orang. Ketika ditawari untuk bergabung dengan asuransi
kesehatan Andi hanya berpikir simple, setidaknya Ia memiliki ‘pegangan’ jika
suatu saat dirinya sakit. Andi pun menandatangani kontrak dengan pembayaran
premi 500 ribu per bulan.
Kala itu Andi berharap saat terjadi
klaim perusahaan asuransi dapat mengganti biaya kesehatan. Setiap bulan seorang
agen asuransi akan mengambil kewajiban premi yang harus Ia bayarkan, terkadang
Andi membayarkannya sendiri ke kantor. Setelah berjalan 3 tahun Andi hendak
mengajukan pencairan klaim, yang saat itu diurus oleh sang istri. Namun Andi
harus menelan kecewa pasalnya perusahaan tidak bisa mencairkan klaim secara
penuh.
Sejak kejadian tersebut Andi
membulatkan tekad untuk menutup polis asuransi kesehatan miliknya. Bagi Andi
pelayanan dari perusahaan asuransi konvensional sangat mengecewakan, dan
membuatnya rugi. Jika dihitung Ia sudah menginvestasikan dana selama 3 tahun,
dengan nominal yang tidak sedikit. Namun ternyata Ia tidak mendapatkan
keuntungan apapun, dan menutup diri dengan berbagai penawaran asuransi.
Beralih ke Proteksi Halal yang Adil
Berkat dari saran seorang teman Andi
mencoba untuk mengikuti asuransi syariah, dimana konsep sharing of risk diterapkan. Disini perusahaan asuransi syariah Indonesia hanya sebagai perantara antar nasabah, dan pengelola dana yang
terkumpul. Tidak ada unsur riba karena proses pembagian keuntungan sesuai
dengan kontribusi nasabah. Pada asuransi ini nasabah bisa melakukan double-claim khusus asuransi kesehatan,
dengan prosedur sesuai plafond.
Perusahaan asuransi diklaim mampu
menggerakkan perekonomian Indonesia, karena jumlah nasabah yang semakin banyak.
Produk asuransi konvensional semakin booming karena memberikan proteksi lebih
baik. Namun keuntungan tersebut hanya berlangsung sementara, sekarang para
nasabah kesulitan untuk mencairkan dana klaim. Produk asuransi syariah
cenderung menawarkan konsep menabung, sebagai bentuk proteksi yang halal.
0 komentar:
Posting Komentar